Cara Pembatalan Fatwa Waris Jika Ada Ahli Waris yang Keberatan
Pertanyaan
Pertanyaan saya: 1. Apakah fatwa waris dapat dibatalkan? 2. Apa prosedur/syarat-syarat dalam pengajuan fatwa waris? 3. Setelah saya melakukan riset di internet, ternyata fatwa waris harus dilakukan pada sidang dan para ahli waris dihadirkan ke persidangan, tetapi kala itu saya tidak mengetahui dan hanya menandatangani fatwa waris tersebut dan saya tidak dihadirkan di muka pengadilan. 4. Karena pada masalah ini menyangkut aset dari waris yang seharusnya dapat saya pakai untuk meneruskan sekolah hukum.
Fatwa Waris
Secara bahasa, fatwa adalah jawab (pendapat, keputusan) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah sebagaimana yang diterangkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring.
Secara istilah, fatwa adalah jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum dari seorang mujtahid atau fakih atas permintaan seseorang yang sifatnya tidak mengikat sebagaimana diterangkan Abdul Azis Dahlan, et.al dalam Ensiklopedi Hukum Islam (hal. 326).
Dari definisi di atas yang dimaksud fatwa waris adalah jawaban atas masalah hukum waris. Jawaban yang dimaksud berisi tentang siapa ahli waris, siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta waris, berapa harta waris dan berapa bagian untuk masing-masing ahli waris.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”):
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris
Praktik Fatwa Waris
UU 3/2006 telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk dapat memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara waris bagi orang Islam, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf b UU 3/2006.
Mengapa masyarakat Islam sampai sekarang masih mempraktikkan fatwa waris melalui Pengadilan Agama? Karena ada lembaga-lembaga tertentu yang masih meminta penetapan ahli waris sebagai syarat.
Misalnya, ada tanah yang mau dijual, diwakafkan atau lainnya, padahal pemiliknya sudah meninggal dunia, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, Notaris, atau Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat menentukan siapa saja yang berhak untuk berbuat hukum atas tanah tersebut untuk mewakafkan, menjual dan lainnya berdasarkan fatwa waris dari pengadilan.[1]
Dalam menyelesaikan persoalan waris ada beberapa model penyelesaian, yaitu:
1. dengan cara damai (musyawarah) di mana para pihak dapat meminta fatwa;
2. dengan cara mengajukan gugatan (apabila ada sengketa).
Model penyelesaian melalui fatwa Pengadilan Agama, pada prinsipnya, berarti antara para pihak tidak ada sengketa dan biasanya pembagian waris diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Karena tidak ada sengketa, maka penyelesaiannya melalui jalur permohonan, sehingga produk hukumnya adalah penetapan. Setelah mendapatkan fatwa, para pihak itu sendiri yang akan menjalankan (membagi) harta secara sukarela.
Syarat Permohonan Fatwa Waris
Dari Persyaratan Permohonan Penetapan Ahli Waris yang kami akses dari laman Pengadilan Agama Bandung, syarat bagi pemohon adalah:
a. semua ahli waris menjadi pemohon;
b. apabila ada ahli waris yang belum cakap berbuat hukum, maka diwakili oleh walinya;
c. apabila ada pihak yang berhalangan hadir, dapat diwakili oleh ahli waris lain dengan memberikan surat kuasa.
Selain itu, menurut hemat kami, hal yang patut diperhatikan adalah:
1. mengajukan permohonan dalam bentuk surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, dengan disertai alasan-alasan (dalil) apa yang menjadi dasar (kepentingan) surat permohonan itu diajukan;
2. diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon;
membayar panjar biaya perkara.
Sementara, syarat materiilnya, antara lain, bukti surat, seperti fotokopi KTP dan KK para ahli waris, surat kematian pewaris, surat keterangan kepemilikan harta waris.
Selain itu, dalam hukum acara perdata juga dapat mendatangkan bukti saksi, yaitu orang yang mengetahui dan mengenal pewaris dan ahli waris.
Dari penjelasan di atas, kami akan menjawab pertanyaan Anda, sebagai berikut:
Pembatalan Fatwa Waris
Pada prinsipnya, fatwa waris itu adalah produk hukum yang sifatnya tidak mengikat. Bahkan pihak yang meminta fatwa itu sendiri dapat tidak menggunakan (mengabaikan) fatwa.
Sifat tidak mengikat fatwa ditegaskan kembali oleh Hasbi Ash Shiddieqy, dalam buku Peradilan & Hukum Acara Islam (hal. 87).
Apabila fatwa itu lahir dari lembaga peradilan, maka bentuknya adalah penetapan, bukan putusan pengadilan.
Sehingga, apabila ada pihak yang tidak mau menjalankan isi fatwa dari pengadilan, maka pengadilan tidak bisa memaksa.
Berbeda dengan putusan pengadilan, apabila ada pihak yang tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela, maka pihak yang dirugikan dapat meminta bantuan pengadilan (negara). Pengadilan dapat memaksa pihak yang tidak menaati untuk menjalankan putusan.
Menjawab pertanyaan Anda, terkait apakah penetapan pengadilan tentang fatwa waris dapat dibatalkan, produk hukum pengadilan dapat diperiksa oleh pengadilan tingkat atasnya untuk dibatalkan sebagaimana diterangkan Sudikno Mertokusumo dalam Hukum Acara Perdata Indonesia (hal. 234).
Maka pihak yang tidak terima dengan penetapan pengadilan dapat melakukan upaya hukum.
Bentuk upaya hukumnya ada dua kemungkinan, yaitu:
- upaya hukum kasasi, karena upaya hukum terhadap penetapan, seperti penetapan berupa fatwa waris, adalah kasasi, kecuali ditentukan lain;
- mengajukan pembatalan melalui gugatan. Apabila ada kesalahan terhadap prosedur atau tidak terpenuhinya syarat lahirnya produk hukum pengadilan (penetapan fatwa waris), maka dapat mengajukan pembatalan melalui gugatan.
Upaya yang Dapat Dilakukan
Apabila Anda keberatan atas fatwa waris tersebut, maka dapat melakukan dua hal, yaitu:
Kasasi
Upaya hukum terhadap penetapan pengadilan adalah mengajukan kasasi terhadap penetapan itu.
Hal ini merujuk pada Pasal 43 ayat (1 ) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan penjelasannya yang menerangkan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan. Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 43) menerangkan bahwa penetapan yang dijatuhkan terhadap permohonan tidak dapat diajukan banding, sehingga upaya hukum yang dapat ditempuh adalah kasasi.
Gugatan
M. Yahya Harahap lebih lanjut menerangkan bahwa, apabila ada pihak yang merasa dirugikan atas isi penetapan yang mengabulkan permohonan dan pihak yang merasa dirugikan baru mengetahui setelah pengadilan menjatuhkan penetapan tersebut yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan perdata biasa (hal. 44).
Anda kemudian akan bertindak sebagai penggugat dan pemohon penetapan fatwa waris itu ditarik sebagai tergugat. Hal yang menjadi dasar diajukan gugatan adalah adanya hubungan hukum yang terjalin antara penggugat dengan permasalahan yang berkaitan dengan syarat diajukan pemohon fatwa waris.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Referensi:
-Abdul Azis Dahlan, et.al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakartra: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001;
-Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, diakses pada 10 Agustus 2020, pukul 18:17 WIB;
-Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan & Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001;
-M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata ten tang Gugatan. Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2005;
-Persyaratan Permohonan Penetapan Ahli Waris, diakses pada 7 Agustus 2020, pukul 18:30 WIB;
Sudikno Mertokusumo.
-Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 2006.